Sosialisasi Batas Usia Perkawinan sebagai Upaya Meningkatkan Kesadaran terhadap Kesehatan Reproduksi dan Mental pada Remaja

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang dapat dianggap sakral yang mengakibatkan setiap orang yang menjalani terikat seumur hidup dengan pasangannya, karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang matang baik dari fisik maupun psikis. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, banyak fenomena perkawinan dini terjadi di rentang usia anak dan remaja. Padahal, anak merupakan sebuah tahapan proses perkembangan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan hingga berusia 18 tahun. Pada usia tersebut, anak masih memiliki jiwa dan fisik yang belum stabil, belum dewasa, sehingga harus mendapatkan perlindungan. Dalam hal ini, masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak dan masa dewasa, yang kerapkali menjadi korban perkawinan dini.

Indonesia merupakan peringkat tertinggi kedua setelah Kamboja dalam konteks regional ASEAN. Menurut data yang didapatkan dari UNICEF mengatakan bahwa wanita yang melahirkan disaat usia 15-19 tahun memiliki dampak yang buruk bagi wanita yang akan melahirkan yaitu beresiko akan kematian dua kali lebih besar dari pada wanita yang melahirkan pada saat usia di atas 20 tahun. Dalam hal ini para ahli medis dan tim kesehatan mengatakan bahwa ada beberapa resiko yang akan dialami oleh perempuan yang masih berusia 20 tahun kebawah pada masa kehamilan dan melahirkan.

Sebagai bentuk perhatian pemerintah dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dalam usia dini atau di bawah umur, maka dalam pasal 7 ayat (1) Undang Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa usia bagi calon mempelai laki laki untuk melangsungkan perkawinan harus memiliki umur minimal 19 (sembilan belas) tahun. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) dijelaskan bahwa apabila mempelai tersebut belum mencapai umur yang telah ditetapkan, maka harus dilakukan proses dispensasi nikah di pengadilan agama setempat.

Pada Senin, 14 Juli 2025, Tim Grup Riset Hukum Islam dan Peradaban Fakultas Hukum UNS melakukan kegiatan Sosialisasi tentang Batas Usia Perkawinan di SMA N 1 Jogonalan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan reproduksi dan mental bagi remaja.

Dalam sambutannya, Prof Burhanudin Harahap., SH., MH., M.Si., P.hD selaku ketua Tim Riset menekankan batas usia perkawinan yang ada dalam Undang-Undang. Selanjutnya, Robertus Susanto., S.Pd selaku Kepala Sekolah SMA N 1Jogonalan mengapresiasi kegiatan ini karena dapat memberikan pemahaman secara mandalam mengenai batas perkawinan dan resiko tentang perkawinan usia dini. Sosialisasi tersebut juga dihadiri seluruh anggota Grup Riset—Dr. Luthfiyah Trini Hastuti., SH., MH. Dr. Solikhah., SH., MH., Zeni Lutfiyah., S.Ag., M.Ag dan Nur Sulistiyaningsih., SH., MH.

Tim Riset juga mendatangkan dua narasumber yang mengkaji bahaya perkawinan dari segi kesehatan mental dan reproduksi. Narasumber pertama adalah Nur Wulan Agustina, S.Kep., Ns., M.Kep., menyampaikan materi mengenai dampak perkawinan dini terhadap kesehatan reproduksi remaja. Dalam paparannya, beliau mengangkat tema “Pernikahan Dini: Impian yang Terkubur Sebelum Mekar”. Berdasarkan data UNICEF (2023), sebanyak 640 juta perempuan di dunia menikah di usia anak, termasuk 95 juta di Asia Timur dan Pasifik. Dalam hal ini, Indonesia menjadi peringkat kedua tertinggi di ASEAN untuk angka pernikahan anak.

Narasumber kedua adalah Ratna Agustiningrum, S.Kep., Ns., M.Kep., yang membahas aspek psikologis dan sosial dari pernikahan usia muda. Menurut Riskesdas (2020), 41,9% perempuan menikah pada usia 15–19 tahun. Pernikahan dini berpotensi menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, gangguan mental, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga perceraian. Oleh karena itu, kesiapan mental, fisik, dan finansial sebelum menikah harus menjadi perhatian utama remaja.

Melalui kegiatan ini, para siswa diharapkan dapat memahami pentingnya pendidikan, perencanaan masa depan, dan menjaga kesehatan reproduksi. Selanjutnya, sosialisasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk mencegah perkawinan usia dini pada remaja.


English Version :

Socialization of Marriage Age Limits as an Effort to Increase Awareness of Reproductive and Mental Health in Adolescents

Marriage is a sacred legal event that binds each person to their partner for life. Therefore, marriage requires thorough preparation, both physically and psychologically. According to research, many early marriages occur among children and adolescents. Childhood is a stage in human development that begins in the womb and continues until the age of 18. At this age, children are mentally and physically unstable and immature, and therefore require protection. Adolescence, a transitional period between childhood and adulthood, is often a key factor in early marriage.

Indonesia ranks second highest after Cambodia in the ASEAN regional context. According to data obtained from UNICEF, women who give birth between the ages of 15 and 19 have a negative impact on the future mother, namely the risk of death is twice as high as women who give birth at the age of 20 and over. In this case, medical experts and health teams say there are several risks that will be experienced by women who are still 20 years old and under during pregnancy and childbirth.

As a form of government attention in efforts to prevent early or underage marriages, Article 7 paragraph (1) of Marriage Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage stipulates that the age for prospective grooms to enter into marriage must be at least 19 (nineteen) years old. Furthermore, Article 7 paragraph (2) explains that if the bride and groom have not reached the stipulated age, a marriage dispensation process must be carried out at the local religious court.

On Monday, July 14, 2025, the Islamic Law and Civilization Research Group of the Faculty of Law, Universitas Negeri Surabaya (UNS), conducted a socialization activity on the Marriage Age Limit at SMA N 1 Jogonalan. This activity was carried out to raise awareness of reproductive and mental health among adolescents.

In his remarks, Prof. Burhanudin Harahap., SH., MH., M.Si., P.hD as the head of the Research Team emphasized the marriage age limit stated in the Law. Furthermore, Robertus Susanto., S.Pd as the Principal of SMA N 1 Jogonalan appreciated this activity because it could provide a deep understanding of the limits of marriage and the risks of early marriage. The socialization was also attended by all members of the Research Group— Dr. Luthfiyah Trini Hastuti., SH., MH. Dr. Solikhah., SH., MH., Zeni Lutfiyah., S.Ag., M.Ag and Nur Sulistiyaningsih., SH., MH.

The research team also invited two speakers to examine the dangers of marriage from a mental and reproductive health perspective. The first speaker, Nur Wulan Agustina, S.Kep., Ns., M.Kep ., presented material on the impact of early marriage on adolescent reproductive health. In her presentation, she raised the theme “Early Marriage: Dreams Buried Before They Bloom.” According to UNICEF data (2023), as many as 640 million girls worldwide are married as children, including 95 million in East Asia and the Pacific. In this regard, Indonesia ranks second highest in ASEAN for child marriage rates.

The second speaker was Ratna Agustiningrum, S.Kep., Ns., M.Kep ., who discussed the psychological and social aspects of early marriage. According to the Basic Health Research (Riskesdas) (2020), 41.9% of women marry between the ages of 15 and 19. Early marriage has the potential to lead to economic instability, mental health problems, domestic violence (KDRT), and even divorce. Therefore, mental, physical, and financial readiness before marriage should be a primary concern for adolescents.

Through this activity, students are expected to understand the importance of education, future planning, and maintaining reproductive health. Furthermore, this outreach can be an effort to prevent early marriage among adolescents.


Leave a Reply