FH UNS –Pada hari Rabu, 12 Februari 2025 bertempat di Auditorium G.P.H. Haryo Mataram UNS, telah diselenggarakan pengukuhan guru besar Prof. Dr. Agus Riwanto, S.H, S.Ag., M.Ag., M.H. sebagai guru besar hukum perundang-undangan fakultas hukum UNS, dengan menyampaikan pidato inaugurasi yang berjudul “Harmonisasi Undang-Undang Kepemiluan melalui Omnibus law guna mewujudkan hukum perundang-undangan yang baik”.
Pidato inaugurasi Prof. Agus Riwanto memaparkan pendahuluan dari pidato tersebut, yang kemudian beliau menerangkan bahwa pemilu merupakan agenda penting dalam kehidupan bernegara sebagai sarana sirkulasi kekuasaan politik yang sah dan diakui secara internasional, sehingga diatur dalam UUD 1945 Pasal 22E. Namun, produk legislasi terkait, seperti Undang-Undang Partai Politik, Pemilu, dan Pemilihan Kepala Daerah, masih menghadapi masalah disharmoni, tumpang tindih, dan potensi multitafsir yang memicu kekosongan hukum serta ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, diperlukan strategi komprehensif berbasis perspektif hukum perundang-undangan untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Ilmu perundang-undangan merupakan alat untuk menganalisis, menelaah, dan mengkaji produk hukum yang baik, serta mencegah penyalahgunaan aturan untuk melanggengkan kekuasaan politik. Undang-undang pemilu yang baik atau good legislation of election harus memenuhi beberapa kriteria, seperti memiliki dasar hukum yang jelas, proses pembentukan yang sesuai dengan aturan, melibatkan partisipasi publik, menggunakan bahasa yang tidak multitafsir, mudah diterapkan, serta efektif dalam penegakannya.
Disharmoni dalam undang-undang kepemiluan dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, pada sistem pemilu, terdapat ketidaksesuaian antara asas dalam Undang-Undang Partai Politik yang menganut sistem kepartaian sederhana dengan asas dalam Undang-Undang Pemilu yang menganut sistem multipartai ekstrem. Selain itu, UU Pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup, sementara UU Partai Politik menggunakan proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Kedua, dari sisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terjadi inkonsistensi dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, sementara dalam UU Pilkada masih berlaku ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 6,5% hingga 10% perolehan suara. Ketiga, pada aspek penegakan hukum, UU Pemilu menetapkan pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) mencakup politik uang, tata cara, dan prosedur pemilu, sedangkan UU Pilkada membatasi TSM hanya pada politik uang. Ketidakharmonisan ini berdampak pada mahalnya biaya pemilu, meningkatnya kecurangan, inkonsistensi partai di DPR, rumitnya rekapitulasi suara yang menyebabkan kelelahan hingga kematian petugas KPPS, meningkatnya sengketa di MK, serta lahirnya politik kartel dan materialisme politik.
Beliau memberikan kesimpulan serta rekomendasi bahwa diperlukan undang-undang kepemiluan berupa harmonisasi dengan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan berupa menempatkan metode Omnibus law. Prof. Agus Riwanto memberikan 7 poin usulan dalam muatan materi undang-undang kepemiluan yakni sebagai berikut: memperketat syarat pendirian partai politik baru; sistem pemilu proporsional tertutup dengan nomor urut atau close list Agar calon terpilih tak didominasi oleh pengusaha, dinasti, dan berbasis popularitas; ketiga melaksanakan Pilkada asimetris di Indonesia yang terdapat 3 model pertama kepala daerah itu langsung oleh rakyat melalui Pilkada langsung, kedua Kepala daerah dipilih DPRD dalam sidang paripurna yang demokratis, kepala daerah diangkat presiden dan Mendagri atas usul DPR; menghapuskan ambang batas pencalonan presiden dan batas pencalonan kepala daerah; menerapkan purcel principle yaitu undang-undang pemilu tak boleh diubah melalui putusan hakim saat Pemilu berlangsung karena akan memicu ketidakpastian hukum dan menyulitkan; pembentukan undang-undang Pemilu diusulkan oleh KPU untuk memastikan independensi dan mencegah DPR dan Presiden sebagai peserta pemilu terlibat dalam revisi undang-undang pemilu karena acak kali penuh kepentingan; materi muatan penegakan hukum pemilu perlunya penguatan pemenang Bawaslu sebagai tunggal dalam penegakan Pemilu kemudian perlunya hukum acara tersendiri dalam penegakan hukum pemilu karena karakteristik pelanggaran pemilu yang khusus tak cukup jika hanya mengacu pada KUHAP.
Humas – FH UNS
