FH UNS – Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) kembali menyelenggarakan International Conference on Law, Economics, and Good Governance untuk ketiga kalinya. Konferensi internasional ini diselenggarakan pada tanggal 2 dan 3 Juli 2025 di UNS Tower Hotel, dengan mengusung tema sentral: “International Conference Law and Economics to Achieve Sustainable Developments Goals in Democratic and Non Democratic Regimes.” Forum ilmiah ini berhasil menghimpun para pakar hukum, ekonom, akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan terkemuka dari berbagai belahan dunia guna membahas secara mendalam peran krusial sistem hukum dan ekonomi dalam memajukan agenda pembangunan berkelanjutan yang komprehensif, baik dalam konteks rezim demokratis maupun non-demokratis. Penyelenggaraan acara ini menegaskan komitmen UNS dalam berkontribusi pada solusi global melalui diskursus ilmiah yang relevan dan berdampak signifikan.
Konferensi ini juga mendapatkan kehormatan dengan kehadiran Drs. Amich Alhumami, M.A., M.Ed., Ph.D. sebagai Keynote Speaker, yang telah menyampaikan pandangan pembuka yang sangat inspiratif dengan topik “The Role of Higher Education Institutions in the Implementation of the Sustainable Development Goals (SDGs)”. Selain itu, lima narasumber terkemuka dari dalam dan luar negeri, dengan keahlian multidisipliner mereka, telah memberikan wawasan yang tak ternilai. Konferensi ini terbagi ke dalam dua sesi utama. Sesi pertama dimoderatori oleh dengan menghadirkan tiga narasumber: Prof. Hikmanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., Prof. Dr. Jaco Barkhuizens, dan Prof. Emmy Latifah, S.H., M.H. Sementara itu, sesi kedua dimoderatori oleh Dr. Erna Dyah Kusumawati, S.H., M.Hum., LL.M. yang menghadirkan dua narasumber, yaitu Dr. Khoo Ying Hooi dan Prof. Dr. Mr. A. (Albertjan) Tollenaar Adapun Prof. Tollenaar, karena berhalangan hadir secara langsung, tetap memberikan materinya melalui Zoom Meeting.
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S. H., LLM., Ph.D. dari Universitas Indonesia, membahas “Harmonization Of International Agreements With National Constitution Within The Framework Of SDGs: Between Global Compliance and National Sovereignty” Presentasi ini mengeksplorasi kompleksitas dan tantangan inheren dalam penyelarasan komitmen internasional yang diadopsi oleh suatu negara dengan kerangka hukum domestiknya, khususnya konstitusi nasional. Prof. Hikmahanto menyoroti bagaimana Indonesia, meskipun berbagi 17 tujuan SDGs, harus menavigasi dilema antara kepatuhan terhadap norma dan kewajiban global dengan mempertahankan kedaulatan nasionalnya. Beliau membahas bagaimana perjanjian internasional, seperti Perjanjian Paris atau konvensi hak asasi manusia, perlu diinternalisasi ke dalam sistem hukum nasional tanpa mengikis prinsip-prinsip konstitusional fundamental. Diskusi ini sangat relevan mengingat seringnya terjadi ketegangan antara hukum internasional yang bersifat universal dan hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai serta kepentingan lokal.
Prof. Dr. Jaco Barkhuizen dari Rabdan Academy, Uni Emirat Arab, membahas topik “Global Security in the Era of Sustainable Development Goals: Creating Peace and Stability for Sustainable Development.” Prof. Barkhuizen secara tegas menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan yang autentik tidak dapat dicapai tanpa penanganan pola viktimisasi yang sistematis yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Beliau menguraikan konsep “lingkaran umpan balik korban-pembangunan” (victim-development feedback loop), di mana viktimisasi melemahkan upaya pembangunan, sementara kurangnya pembangunan meningkatkan risiko viktimisasi. Presentasinya juga memperkenalkan “paradigma keamanan manusia” (human security paradigm), yang mengalihkan fokus keamanan dari stabilitas negara semata ke keselamatan individu. Prof. Jaco menyoroti signifikansi SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat) dalam secara eksplisit mengakui hak-hak korban dan kebutuhan mendesak akan kerangka hukum baru untuk melindungi kategori korban yang muncul, tidak hanya korban perubahan iklim tetapi juga korban kejahatan siber, eksploitasi sumber daya alam, dan konflik yang berkepanjangan. Beliau juga menguraikan langkah-langkah praktis untuk mengintegrasikan perspektif korban dalam implementasi SDGs, termasuk penilaian dampak korban yang wajib dan mekanisme partisipasi korban yang bermakna.
Prof. Dr. Emmy Latifah, S.H., M.H., seorang Profesor Hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, juga turut memberikan kontribusi berharga dalam konferensi ini dengan presentasinya yang berjudul “Copyright for Digital Content Creator (in the Framework of Promoting SDGs)”, melengkapi diskusi dengan perspektif domestik yang mendalam mengenai implementasi hukum dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Dr. Khoo Ying Hooi dari Universiti Malaya, Malaysia, mempresentasikan tentang “Human Rights, SDG 16, and The Struggles for Justice in Southeast Asia” Dr. Khoo membahas mengapa SDG 16 sangat penting bagi kawasan ini, mengingat sejarah kompleks dan beragamnya sistem politik di Asia Tenggara. Beliau menguraikan “konsep keadilan yang diperdebatkan secara fundamental,” yang mencakup berbagai teori klasik dan kontemporer seperti keadilan Rawlsian (berbasis keadilan distributif), kritik libertarian (fokus pada kebebasan individu), pandangan komunitarian (keadilan terikat konteks sosial-budaya), serta kritik postkolonial dan feminis yang menyoroti marginalisasi suara-suara dari Global Selatan dan kelompok minoritas. Dr. Khoo juga membahas paradoks keadilan dalam rezim demokrasi dan otoriter, serta refleksi komparatif menggunakan Malaysia dan Timor-Leste sebagai studi kasus, menyoroti tantangan seperti “lawfare” (penggunaan hukum sebagai senjata), dikotomi pembangunan versus hak, serta korupsi dan impunitas yang menghambat kemajuan keadilan di Asia Tenggara.
Prof. Dr. Mr. A. (Albertjan) Tollenaar dari Universitas Groningen, Belanda, mempresentasikan terkait “The Role of The Judiciary in Advancing The Sustainable Development Goals” Dalam paparannya, Prof. Tollenaar mengamati fenomena global di mana institusi peradilan semakin sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk menegakkan perubahan kebijakan yang berkaitan erat dengan SDGs, seperti isu-isu krusial mengenai akses air bersih dan sanitasi (SDG 6), serta aksi iklim yang mendesak (SDG 13). Beliau secara spesifik menyoroti kasus-kasus di Indonesia, termasuk gugatan terkait kebakaran lahan gambut di Kalimantan yang menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan yang parah, serta permasalahan polusi udara di Jakarta yang mengancam kualitas hidup. Dalam konteks kasus-kasus tersebut, masyarakat sipil yang proaktif dan gigih telah berhasil memanfaatkan prosedur pengadilan untuk menuntut akuntabilitas dan tindakan konkret dari pemerintah, yang mengindikasikan potensi yudikatif sebagai penyeimbang kekuasaan. Diskusi juga mencakup tantangan yang dihadapi yudikatif dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan publik yang seringkali saling bertentangan, serta potensi munculnya “dikastokrasi” (pemerintahan oleh hakim) apabila pengadilan mengambil peran yang dianggap melampaui batas legislatif atau eksekutif, khususnya dalam menghadapi legislasi yang ambigu atau norma internasional yang multitafsir.
Konferensi ini secara tegas menggarisbawahi urgensi kolaborasi multi-level yang kuat dan berkelanjutan antara pemerintah, lembaga yudikatif, organisasi masyarakat sipil, dan pakar hukum. Kolaborasi ini esensial untuk memastikan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan tidak hanya menjadi aspirasi kebijakan, melainkan juga realitas yang dapat ditegakkan secara hukum dan diimplementasikan secara efektif di lapangan. Diskusi yang mendalam, studi kasus yang relevan, dan perspektif lintas disiplin yang disajikan oleh para pembicara telah memberikan wawasan berharga mengenai tantangan kompleks dan peluang besar dalam memajukan SDGs melalui penguatan kerangka hukum dan sistem peradilan. Konferensi ini diharapkan menjadi katalisator bagi penelitian lebih lanjut dan inisiatif praktis di masa depan.
Humas – FH UNS