Surakarta, 7 Juli 2025 — Group Riset Hukum Administrasi dan Energi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan Kota Surakarta dan Dewan Pengupahan Kota Surakarta menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat dan sosialisasi bertajuk “Hak Pekerja dalam Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023”. Kegiatan ini berlangsung di Kantor Dinas Ketenagakerjaan Kota Surakarta dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah, asosiasi pengusaha, serikat pekerja, akademisi, serta lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dinilai membawa dampak signifikan terhadap struktur kebijakan pengupahan di Indonesia, khususnya terkait kewenangan pemerintah daerah dalam penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Putusan tersebut menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bersifat inkonstitusional bersyarat. Salah satu poin krusial adalah penegasan Mahkamah atas pentingnya desentralisasi kewenangan dalam pengaturan upah minimum, yang selama ini dianggap terlalu tersentralisasi di tingkat provinsi maupun pusat.
Ketua Group Riset Hukum Administrasi dan Energi, Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, dalam sambutannya menekankan bahwa putusan MK tersebut merupakan momentum penting untuk memperkuat peran pemerintah daerah, khususnya wali kota dan bupati, dalam menentukan kebijakan pengupahan yang lebih kontekstual dan berpihak pada keadilan sosial. “Putusan ini merupakan bentuk koreksi terhadap arah regulasi dalam UU Cipta Kerja yang sebelumnya dinilai mengurangi kepastian dan perlindungan bagi pekerja,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan sekaligus Ketua Dewan Pengupahan Kota Surakarta, Widyastuti Pratiwiningsih, S.IP., M.M., menyampaikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membawa dua implikasi yuridis utama. Pertama, gubernur tetap memiliki kewajiban untuk menetapkan upah minimum sektoral tingkat provinsi apabila terdapat sektor unggulan. Kedua, bupati/wali kota kini memiliki kewenangan bersifat dapat, yaitu dapat menetapkan UMSK apabila terdapat kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja melalui forum Dewan Pengupahan Daerah. “Putusan ini membuka ruang demokratisasi dalam pengambilan kebijakan upah dan mendorong pengakuan terhadap keunikan sektor-sektor industri lokal,” jelasnya.
Sebagai narasumber utama, Dr. Abdul Kadir Jaelani, S.H., M.H., dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UNS sekaligus anggota Dewan Pengupahan Kota Surakarta, menegaskan bahwa peran Dewan Pengupahan kini menjadi semakin strategis pasca putusan MK. Ia menjelaskan bahwa Dewan Pengupahan sebagai forum tripartit yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, buruh, dan akademisi, memiliki legitimasi yang diperkuat untuk mengusulkan sektor-sektor unggulan yang layak mendapatkan UMSK. “Kami bertugas menyusun rekomendasi berbasis data dan realitas sektoral yang menjadi rujukan bagi kepala daerah dalam mengambil kebijakan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Achmad Choerudin, S.T., S.E., M.M., dosen Universitas Tunas Pembangunan dan anggota Dewan Pengupahan Kota Surakarta, menambahkan bahwa Dewan Pengupahan bukan sekadar instrumen administratif, melainkan aktor utama dalam memastikan proses pengupahan berjalan secara partisipatif, transparan, dan berbasis keadilan. Menurutnya, ke depan keberhasilan penetapan UMSK sangat bergantung pada kualitas kerja Dewan Pengupahan dan responsifnya pemerintah daerah dalam menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan. “Putusan MK ini menjadi dasar untuk melakukan reformasi sistem pengupahan daerah yang lebih inklusif dan adil,” katanya.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai stakeholder, termasuk Sri Saptono Basuki dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Surakarta, perwakilan dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Surakarta, unsur Serikat Pekerja/Buruh, BPJS Ketenagakerjaan, dan perwakilan Pemerintah Kota Surakarta. Hadir pula tim akademisi dari Group Riset Hukum Administrasi dan Energi yang turut memberikan kontribusi dalam diskusi ilmiah dan advokasi kebijakan publik ketenagakerjaan.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal kolaboratif antara akademisi, pemerintah, dan pelaku industri dalam memperkuat pelaksanaan desentralisasi kebijakan pengupahan yang berkeadilan, serta mendorong perlindungan hak pekerja yang berbasis pada keunikan dan kebutuhan sektoral daerah.